"Muhammadiyah NU"


oleh: Abd. Rohim Ghazali (Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina)


Muhammadiyah Nahdlatul Ulama (NU) atau "Munu" adalah salah satu varian aktivis Muhammadiyah yang pola berpikirnya lebih terbuka, biasa mengikuti dan menyelenggarakan upacara tahlilan hingga slametan-tanpa kaitan dengan siklus kematian-(tapi lebih untuk) menggembirakan orang tua, pekerja keras untuk mengejar kehidupan dunia seraya tidak lupa dengan tugas pokok hidupnya yakni beribadah memenuhi syariah (Mulkhan, 2000:253).

"Munu" adalah gambaran konvergensi dua watak tradisi Muhammadiyah dan NU dalam diri seseorang yang cara berpikir dan bertindaknya responsif dengan kemajuan zaman, tapi tidak meninggalkan agama dan budaya leluhur yang sudah dijalaninya secara turun-temurun. "Munu" bisa menjadi personifikasi dua tema besar "Islam Berkemajuan" dan "Islam Nusantara" yang diusung masing-masing oleh Muhammadiyah dan NU dalam muktamar mereka yang digelar pada awal Agustus ini.

Harus diakui, Muhammadiyah dan NU dipersepsi sebagai dua organisasi besar Islam yang kerap berselisih paham. Persepsi ini bukan tanpa dasar. Banyak perbedaan di antara keduanya dalam praktek ibadah mahdhah, misalnya lafal doa dan jumlah rakaat dalam salat tarawih Ramadan. Dan, perbedaan yang paling jelas menggambarkan watak masing-masing adalah dalam penentuan awal dan akhir Ramadan. Muhammadiyah menerapkan metode hitung-hitungan yang rasional (hisab), sedangkan NU menerapkan metode tradisional melalui penglihatan fisik (ru'yah).

Banyak upaya dilakukan untuk menyatukan kedua metode ini, tapi belum berhasil karena masing-masing berpedoman pada kriteria yang sepertinya tidak mungkin bisa disatukan. Muhammadiyah menganggap pergantian bulan (untuk mengawali dan mengakhiri puasa Ramadan) ditandai oleh pergeseran bulan dari garis lurus dengan matahari tanpa mengharuskan bulan itu sudah kelihatan atau tidak. Sedangkan bagi NU, pergeseran bulan belum bisa memenuhi kriteria pergantian bulan sebelum benar-benar bisa dilihat dengan mata.

Ada kalangan yang melihat perbedaan ini sebagai bagian dari kekayaan ekspresi keberagamaan yang tidak perlu dipersoalkan. Tapi ada juga kalangan yang (masih) menganggapnya persoalan penting karena menyangkut sah (diterima) atau tidak sahnya (tidak diterima) ibadah seseorang.

Yang menganggap perbedaan bukan persoalan tidak berarti mengabaikan diterima atau ditolaknya ibadah, tapi lebih ingin mendudukkan persoalan pada tempatnya. Dalam soal ibadah, yang penting masing-masing punya landasan (tuntunan) yang kuat (tsiqat) baik yang berasal dari firman Allah SWT (Al-Quran) maupun sabda Nabi Muhammad SAW (Al-Hadis). Soal diterima atau tidaknya ibadah itu sepenuhnya menjadi hak Allah yang menentukan. Yang lebih penting lagi, masing-masing pihak yang menjalankan "perbedaan" ibadah itu saling menghormati, tidak saling menyalahkan, apalagi menghina atau menganggap yang lain sesat.

Untuk bisa saling menghormati, dibutuhkan upaya saling memahami. Ibarat pepatah, tak kenal maka tak sayang, tak paham maka tak hormat. Banyak aktivis Muhammadiyah yang tumbuh menjadi "Munu" karena secara genealogis berasal dari keluarga atau masyarakat yang berinteraksi dengan dua tradisi, Muhammadiyah dan NU, baik secara simultan (dalam waktu yang bersamaan) ataupun bertahap (dalam waktu yang berbeda). Interaksi simultan bisa dialami oleh mereka yang hidup dalam masyarakat multikultural, dan yang bertahap dialami oleh mereka yang bermigrasi dari masyarakat berkultur NU ke masyarakat yang berkultur Muhammadiyah (atau sebaliknya). Interaksi bertahap juga bisa terjadi karena faktor perpindahan tempat pendidikan, dari pendidikan pesantren (tradisional) ke pendidikan modern (atau sebaliknya).

Interaksi-apalagi yang dilakukan secara intensif-akan menumbuhkan pemahaman yang pada tahap berikutnya menimbulkan rasa hormat dan bahkan empati terhadap perbedaan. Dua sikap ini, hormat dan empati, penting dikembangkan dalam masyarakat yang pluralistis seperti Indonesia. Perbedaan kultur (juga etnis dan agama) berpotensi menyulut konflik atau bahkan perpecahan yang sangat destruktif bagi kehidupan bersama dalam suatu bangsa/negara.

"Munu", selain bentuk personifikasi konvergensi tradisi Muhammadiyah dan NU, bisa ditransformasikan menjadi watak kebangsaan yang berupaya melintasi batas masalah-masalah furu'iyah (cabang-cabang cara beribadah) dan perbedaan mazhab yang di negeri ini kadang derajat konfliknya lebih rumit dan lebih membahayakan ketimbang perbedaan agama.

Dalam Islam, cara menyikapi perbedaan agama pedomannya sangat jelas, lakum dinukum wa liyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Tapi cara menyikapi perbedaan mazhab lebih rumit karena kerap ditandai dengan klaim merasa paling benar seraya menyalahkan/menyesatkan yang lain. Tak hanya itu, mazhab yang dianggap sesat kadang dituduh menista mazhab yang dianggap paling benar. Faktor inilah yang membuat para pengikut mazhab (jemaat) Ahmadiyah dan Syiah, yang dianggap sesat, kadang dinistakan dan diusir dari komunitas yang dihuni mayoritas menganut mazhab yang dianggap paling benar dan biasanya secara kuantitas jauh lebih banyak (mayoritas).

"Munu" bisa menjadi kredo dari watak generasi dan atau masyarakat yang menghormati perbedaan atas dasar pemahaman yang inklusif. Di Indonesia, prospek "Munu" cukup menggembirakan, sejalan dengan tumbuhnya generasi baru aktivis Muhammadiyah dan NU yang berpendidikan tinggi, berwawasan luas, berpikiran terbuka, dan menerima perbedaan sebagai bagian kekayaan ilmu dan budaya.

Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang (masih) menganggap tumbuhnya generasi baru ini sebagai ancaman karena dianggap mengusung ide-ide pluralisme dan liberalisme yang membahayakan akidah dan keutuhan bangsa. Anggapan ini muncul mungkin bukan sekadar karena kurangnya pemahaman atau sempitnya pergaulan, tapi juga trauma sejarah masa lalu yang terus direproduksi untuk kepentingan politik masa kini. Wallahu a'lam!

Sumber: Koran Tempo edisi 7 Agustus 2015

0 comments

Leave a Reply