Kegelisahan Spiritual Kartini

Oleh: Nur Hadi

"....Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? … Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? … Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya … Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukanlah begitu Stella?"

Setidaknya, itulah sekelumit kegelisahan (pergulatan) intelektual-spiritual seorang remaja putri ningrat dari pesisir Jawa Tengah itu. Kepada Stella, kawan karibnya dari negeri Belanda, ia mengadu. Konon, kegelisahanya itu muncul setelah putri ningrat itu pernah dimarahi dan dikeluarkan oleh guru ngajinya, hanya karena ia mengajukan pertanyaan tentang makna tulisan-tulisan Arab yang dibacanya.

Kegelisahan putri ningrat itu pun berlanjut. Namun, kali ini ia mengadu kepada kawannya yang lain. Kepada Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan Agama, dan Kerajaan Hindia Belanda. Saat itu, dia menulis bahwa sesungguhnya dia ingin sekali mengetahui isi kandungan Al-quran.

“Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak tidak boleh mengerti apa artinya,” tulisnya.

Mengetahui kegelisahan kawannya itu, Abendanon merasa prihatin. Sehingga, kemudian Abandenon mangajaknya dengan dialog yang hangat dan empatis. Sampai akhirnya, kepada Abendanon, putri ningrat itu pernah menyatakan bahwa agamanya kini adalah agama kasih sayang, yang universal, menjiwai semua agama, dan bahkan melingkupi hidup seorang kafir.

“Maksud Tuhan kepada kita baik. Hidup ini diberikan kepada kita sebagai rahmat dan tidak sebagai beban; Kita, manusia sendiri umumnya membuatnya menjadi kesengsaraan dan penderitaan. Betapa baiknya maksud Pencipta kepada kita, paling baik kita rasakan dan kita ketahui apabila kita berada di alam bebas-Nya,” katanya kepada Abendanon.

Semenjak itu, putri ningrat dari Jawa itu meyakini dan mengemban agama kemanusiaan (cinta kasih). Namun, pemahamannya yang seperti itu tak berlangsung lama, setelah ia bertemu dengan Kyai Sholeh Darat. Kyai itu sanggup memuaskan setiap kegelisahan dan pertanyaan kritisnya.

Melalui perbincangan intensif dengan sang Kyai, ia akhirnya menyimpulkan bahwa jalan kepada Allah dan jalan ke arah kebebasan hanya satu. Siapa yang sesungguhnya mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun, ia sebenarnya benar-benar bebas.

Dengan polosnya, ketika ia berada di puncak kesadaran spiritualnya, putri ningrat itu mengatakan, “Kami tidak dapat mengatakan betapa tenang, betapa tenteram hati kami sekarang. Betapa bahagia rasanya. Tiada kekhawatiran, tiada ketakutan lagi… Ada yang melindungi kami, yang selalu ada dekat kami… Kami yakin itu.”

Kemudian putri ningrat itu melanjutkan, “...yang kami cari itu dekat sekali. Ia ada di dalam jiwa kita sendiri.”

*) Tulisan ini terinspirasi dari buku Permata Rumah Kita karangan Miranda Risang Ayu

0 comments

Leave a Reply