Pluralisme

Oleh : Makinuddin

Syariat pada hakikatnya berpijak pada kemaslahatan manusia. Karena itu setiap persoalan yang tidak berlandaskan keadilan, kasih sayang, kemaslahatan dan hikmah bukanlah bagian dari syariat. (Imam Ibnu Qayyim Al-jauziyah)

Pluralisme dalam Konsep

Pluralisme merupakan pengakuan atas perbedaan terhadap keyakinan, nilai, cara dan rujukan untuk mencapai nilai tertinggi kemanusiaan, ini berbeda dengan inklusivisme. Konsep yang disebut terakhir ini ingin mencari dimensi kesamaan substansi dan nilai dalam keragaman sedangkan pluralisme justru mengakui perbedaan/keragaman sebagai realitas agama-agama dan berkeyakinan.

Menurut Diana L. Eck dalam buku A New Religion America : How a Cristian Country Has Become the World’s  Most Religiously Diverse Nation, ada tiga poin penting yang terkandung dalam pluralisme.

Pertama,  pluralisme sebagai bentuk keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Dalam konteks ini pluralisme tidak sekedar mengakui perbedaan dan keragaman namun juga merangkai keragaman untuk tujuan kemanusian dengan melibatkan banyak latar belakang dan asal usul agama.

Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi melahirkan kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Namun pluralisme melampaui hal tersebut sebab pluralisme merupakan upaya untuk memahami perbedaan dengan pemahaman yang konstruktif (constructive understanding). Dalam konteks ini pluralisme bisa dimengerti  sebagai bentuk toleransi aktif yang bertujuan untuk meningkatkan kesepahaman di tengah perbedaan dan keragaman (mutual understanding).

Ketiga, pluralisme bukan relativisme sebab pluralisme bermaksud untuk menemukan komitmen bersama (encounter commitments). Di sini keragaman tetap dipertahankan dan tidak hendak dihilangkan karena paham ini menghargai komitmen kebenaran pada setiap agama dan teologi yang dianut. Dengan begitu pluralisme bisa menjadi “mesin pendorong” bagi kerukunan, toleransi,  kebersamaan dan  kemanusiaan.

Namun apa yang ditulis oleh Diana di atas bukan tanpa tantangan. Menurut Isiah Berlin dalam On Pluralism, dalam praktiknya pluralisme menghadapi dua kendala. Pertama, monisme yaitu paham  yang menganggap “hanya ada satu nilai kebenaran” sedangkan nilai lain dianggap salah. Kedua, relativisme yaitu paham yang menganggap setiap nilai adalah benar.

Menurut penulis buku On Pluralism,  kedua paham tersebut bukan pluralisme karena keduanya menafikan aspek sosiologis masyarakat tentang adanya perbedaan ide, budaya dan tabiat  masyarakat. Agama-agama yang terjebak dalam kedua paham tersebut tidak akan melahirkan pandangan kemanusiaan.

Jadi pendeknya pluralisme adalah bentuk penghargaan terhadap perbedaan untuk mendorong terciptanya kehidupan yang saling menghargai, berkeadilan, maslahat dan penuh kasih sayang seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyum di atas. Itulah mengapa di awal tulisan ini dikutip pernyataan imam besar tersebut dalam kitab I’lam Al-muwaqqi’in an’ Rabb Al-Alamin.

Pluralisme dalam Islam  

Dalam Al-Maidah ayat 48 disebutkan bahwa untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan syir’ah dan manhaj. Ayat ini di jelaskan oleh Al-Thabari dalam Kitab  Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Quran bahwa masing-masing umat ditetapkan sabil (jalan/aturan) dan sunnah (tradisi) yang berbeda-beda. Pendapat  Al-Tahbari tersebut dikutip dari tafsir generasi Tabi’in yaitu Imam Qatadah.  Imam Qatadah sendiri mengatakan bahwa “Al-Addin wahid wa al syari’ah mukhtalifah” (Din itu hanya satu sedangkan syari’ah itu berbeda-beda).   Pertanyaannya apa perbedaan al-Din  dan al-syariah?

Dalam kitab yang sama Imam Qatadah yang dikuatkan oleh Imam al-Thabari menjelaskan bahwa al-din adalah keyakinan tauhid (monoteis) yaitu pengakuan terhadap keesaan Allah. Padangan ini sejalan dengan penjelasan Al-Syarastani dalam Kitab Al-Milal wa Al Nihal bahwa al-din merupakan ketaatan dan ketundukan (al-inqiyah), pembalasan dan perhitungan pada hari akhir. Pendeknya al-din merupakan keyakinan terhadap keesaan Allah sedangkan al-syari’ah adalah jalan, metode, cara dan aturan. Syaikh Mahmud Syalthout mengatakan bahwa dua kategori tersebut bisa katakan sebagai aqidah dan syari’ah.

Elaborasi di atas ingin menjelaskan bahwa ada sesuatu yang pokok yaitu al-din dan ada bagian yang beragam (plural) yaitu syari’ah.  Dalam pengertian ini kita bisa meletakkan perbedaan cara, metode, jalan dan aturan sebagai sesutu yang niscaya dan menjadi dasar bagi berbagai bentuk upaya membangun kerukunan, penghargaan dan kemanusiaan.

Al-Quran Surah Al-Alma’idah ayat 48 mengatakan “sekiranya Allah mengehendaki niscaya kamu dijadikan satu umat, tapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya. Maka berlombalah dalam kebajikan”. Dalam Surah Al-Hujurat  ayat 13 juga menyebut hal yang kurang lebih sama yaitu Allah menciptakan berbangsa, bersuku supaya saling mengenal dan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Surah Al-Rum  ayat 22 juga menyebutkan bahwa salah satu bukti kebesaran dan kebijakan Allah adalah menciptakan  langit-bumi, keragaman bahasa dan warna kulit. Muhammad Thahir Ibnu Asyur dalam Kitab al-Tsawabut wa al-Muthagayyirat  mangatakan bahwa “perbedaan bahasa” yang dimaksud dalam ayat itu adalah perbedaan dalam berpikir dan berekspresi.

Tiga ayat dari tiga surah yang berbedah tersebut mengajarkan empat hal kepada manusia. Pertama, bahwa perbedaan merupakan cara Allah untuk mendorong agar manusia berlomba melakukan perbuatan baik bukan kerusakan (Al-Alma’idah ayat 48 ).  Penjelasan ini juga menegaskan bahwa perbedaan agama dan keyakinan tetap diberikan peluang oleh Allah untuk berbuat baik. Oleh karena itu kebaikan dan kebajikan bukan klaim sepihak agama dan keyakinan tertentu, sebab untuk apa Allah mendorong “berlomba dalam kebaikan” kalau Allah tidak bermaksud untuk membalas kebaikan tersebut.

Kedua, bahwa perbedaan merupakan “arena lomba” di hadapan Allah  tentang “siapa yang paling mulia dan bertaqwa” (Al-Hujurat  ayat 13). Kita tidak mendapati pengertian yang diskriminatif dalam ayat tentang “orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa” di antara laki-laki, perempuan, bangsa-bangsa dan suku-suku.

Ketiga, bahwa perbedaan merupakan cara Allah untuk  mendorong manusia saling memahami (mutual understanding) dengan pemahaman yang membangun (constructive understanding) (Al-Hujurat  ayat 13). Oleh karena itu perbedaan tidak seharusnya menjadi pemantik permusuhan tapi menjadi amunisi penciptaan hubungan kemanusiaan dalam kehidupan.

Keempat, bahwa perbedaan seharusnya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mengerti (Al-Rum  ayat 22). Hanya manusia yang memiliki pengertian konstruktif (li al-alimin/ulu al-ilmi) terhadap saja yang bisa memahami bahwa hal tersebut merupakan tanda-tanda kemahabesaran dan Kemahabijaksaan Allah.

Sebagai penutup dikutipkan  Al-qur’an Surah Al-Hajj ayat 40, “sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian  manusia  tentu telah dirobohkan biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah Yahudi dan masjid-masjid di mana di dalamnya disebut nama-nama Allah”.  Ayat ini mengajarkan bahwa perbedaan harus tetap dijaga (termasuk simbol keagamaan dan keyakinan) tanpa terjebak dalam pikiran merasa paling benar (monisme) dan menganggap semua benar (relativisme). Perbedaan adalah bagian dari tanda Kebesaran Allah sedangkan kebenaran hakiki merupakan Hak Mutlak-Nya dan kita hanya berlomba untuk mecapai derajat mulia di Sisi-Nya.

Wa allahumuwafiq Ila Aqwam athariq

0 comments

Leave a Reply