Oleh: Imronul Huda
Bumi tempat aku berpijak hanya terdiam membisu, tiada hembusan suara angin maupun lantunan nyanyian ombak.
Gubuk kecil para nelayan yang biasanya rame akan celotehan dan candaan khasnya berubah menjadi sintru, botol kecil bekas toak lengkap dengan sisa-sisa makanan yang berserakan di antara alat tangkap yang masih tertata rapi di atas gubuk kecil itu aku terdiam.
Seorang ibu tiba-tiba berjalan cepat membawa raut wajah yang basah akan air mata serta sosok suaminya dengan beban bayi yang di rangkul karena sakit lengkap dengan selimut sebagai penghangat tubuh sang bayi, mereka berjalan menyebrang ke arah rumah sakit tepat di selatan gubuk kecil para nelayan.
Namun aku pun masih terdiam dan acuh akan mereka, sekejap aku berpikir tentang apa yang mereka rasakan, mereka hanya nelayan kecil dengan baju yang robek melekat pada tubuhnya.
Bagaimana keadaan anaknya? Berapa besarkah biaya pengobatannya? Bagaimana memutar rupiah untuk kebutuhan besok? Sedangkan alam sedikit tidak bersahabat pada mereka.
Keluasan samudra seakan hampa pada hari itu, wajah kusam nelayan bagai penjudi yang sedang kalah, tragis memang melihat bangsa ini dengan kekayaan alamnya yang mungkin hanya tinggal sebatas cerita.
Mana hijau daratanmu yang dulu kau nyanyikan? Mana biru samudramu yang dulu kau banggakan? Adakah hari esok kekayaan alam yang kau wariskan? Dan Tuhan pun mulai bosan.
0 comments