Oleh: Wilda Jauharoh, Mahasiswa Komunikasi Islam UAD Yogyakarta
Sudah dua pekan ini saya menghabiskan malam minggu di rumah saja. Saya tidak berminat sedikitpun untuk meninggalkan rumah, meskipun hanya sekedar mencari wedang ronde untuk mengahangatkan tubuh setelah kehujanan tadi sore. Setelah sedikit merasa jenuh, saya berinisiatif untuk mencari buku bacaan di kamar teman se rumah saya. Ketika itu saya temukan satu buku karya Dr. Kuntowijoyo yang berjudul “ Paradigma Islam Interprestasi Untuk Aksi”. Sekilas buku tersebut terlihat sangat klasik. Namun justru itu yang membuat saya penasaran untuk membacanya. Pada Bab ke VII saya menemukan sebuah judul yaitu, “Cita-cita Transformasi Islam”. Dalam bab tersebut Dr. Kuntowijoyo membahas tentang bagaimana perbedaan pengertian antara Islam dan Barat tentang agama. Barat memahami agama sebagai sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh pendeta. Sedangkan dalam islam agama bukan merupakan sebuah sistem teokrasi, bukan juga sebuah cara yang didekte oleh teologi.
Dr. Kuntowijoyo menjelaskan lebih lanjut, bahwa di dalam islam tidak ada yang namanya pemisahan antara domain duniawi dan agama. Dalam nilai-nilai islam, aspek kehidupan seperti sosial, politik, ekonomi dan budaya memiliki keterkaitan. Oleh karena itu harus dilakukan sebuah transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai tersebut. Yang pertama kali perlu difahami adalah apa sesungguhnya dasar yang paling sentral dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Dalam subtansi ajaran dalam islam dikenal adanya trilogi yakni “iman-shalat-zakat” sementara dalam perumusan lain kita mengenal adanya “ iman-ilmu-amal”. Dari pernyataan di atas bisa disimpulkan bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Dalam artian perlu adanya aktualisasi dari tauhid itu sendiri. Pusat keimanan Islam memang Tuhan akan tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dalam konteks inilah islam disebut Rahmatan lil al-‘amin.
Islam merupakan sebuah humanisme. Humanisme Islam adalah humanism teosentrik. Artinya ia merupakan suatu agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap tuhan. Tetapi aktualisasiannya terhadap manusia. Atas dasar prinsip nilai humanisme teosentrik itulah, dapat dilihat adanya perbedaan konsep mengenai agama di dalam Islam dengan konsep agama di dalam agama lain. Islam misalnya tidak mengenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologi yang cenderung meremehkan pemikiran rasio.
Dalam sub bab lain Dr. Kuntowijoyo menjelaskan tentang bagaimana seharusnya metode transformasi itu dilakukan. Di situ Kuntowijoyo menjelaskan bahwa pada dasarnnya seluruh kandungan nilai islam bersifat normatif. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif itu menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai-nilai normatif tersebut diaktulisasikan langsung menjadi perilaku. Contohnya, adanya seruan moral praktis Al-Qur’an tentang perintah untuk menghormati orang tua. Seruan ini dapat diartikan langsung dalam praktek keseharian di dunia.
Cara yang kedua adalah mentranformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam perilaku. Cara yang kedua ini yang relevan pada saat sekarang ini. Karena masyarakat saat ini lebih membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal. Metode untuk mentransformasikan nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam praksis, memang membutuhakan beberapa fase formulasi yaitu, teologi -- filsafat sosial -- teori sosial -- perubahan sosial. Fase yang seperti ini menurut Pak kuntowiyo belum diterapkan pada masyarakat kita. Tanpa melakukan fase tersebut, tanpa mentransformasikan islam normatif menjadi Islam teoritis agaknya masyarakat akan mengalami kebingungan besar dalam mengatasi perkembangan masyarakat saat ini.
Pertimbangan lain yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo yaitu kita harus mentransformasikan nilai-nilai islam yang subjektif menjadi objektif . “Objektifikasi nilai-nilai islam sangat diperlukan jika ingin mengaktualisasikan islam secara empiris. Dengan mentrasformasikan nilai-nilai islam yang normatif menjadi sistem yang teoritis dan dengan mentranformasikan nilai-nilai islam subjektif ke dalam kategori yang objektif maka islam akan siap menghadapi berbagai bentuk tantangan struktural dari perkembangan masyarakat industri,” tulis Kuntowijoyo pada paragraf terakhir di bab ini.
Setelah beberapa hari saya membaca buku tersebut. Saya mulai tertarik untuk menggali lebih dalam lagi tentang pemikiran pak Kuntowijoyo. Pada hari rabu tepatnya pukul 08.00 WIB saya sudah berada di depan pintu masuk perpustakaan kampus. Ini suatu hal yang cukup aneh bagi diri saya sendiri. Sebelumnya saya tidak pernah mengunjungi perpustakaan sepagi ini hanya untuk mengobati rasa penasaran saya tentang pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo yang lain. Dalam rak yang berisi deretan buku-buku tentang tokoh-tokoh dunia, saya menemukan salah satu buku Kuntowijoyo yang berjudul “Budaya dan Masyarakat”. Tanpa berfikir dua kali saya langsung meminjam buku tersebut. Pada Bab terakhir buku ini membahas tentang bagaimana pandangan Kuntowijoyo terhadap sastra. Dan kebetulan saya memang menyukai sastra.
Dalam bab terakhir yang saya pahami dari penjelasan Kuntowijoyo adalah apabila kita memperlajari sastra dari segi intelektualitasnya sama dengan mempelajari kesadaran masyarakatnya. Sastra merupakan potret yang melukiskan masyarakat, analisa sosial yang menyiasati perubahan-perubahan masyarakat dan terkadang menyuguhkan filsafat yang memberi landasan penilaian tentang apa yang sedang terjadi. Beliau juga menjelaskan bahwa sastra juga merupakan kritik sosial sebagaimana ilmu-ilmu sosial yang mencoba melakukan analisa dengan penuh perlawanan terhadap masyarakatnya.
Sastra merupakan strukturisasi dan pengalaman. Contohnya pada karya-karya sastra klasik yaitu novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli berhasil mengungkapkan sebuah dunia yang sedang berubah di Sumatera Barat. Kemudian novel Salah Asuhan yang dikarang oleh Abdul Muis yang mengungkapakan perbenturan antara nilai lama dengan nilai baru. Sastra inilah yang dimaksud dengan sastra simtomatik. Sastra merupakan sebuah sistem simbol yang mempunyai kaitan erat dengan sistem sosial yang melahirkannya. Sastra ini bisa digunakan untuk melakukan peralawanan terhadap sistem sosial dengan caranya sendiri sesuai dengan keadaan yang dialami oleh masyarakat itu sendiri.
Dari sedikit bab yang telah saya baca dan pahami baik di buku pertama maupun di buku yang kedua ini, saya dapat menyimpulkan bahwa Kuntowijoyo adalah seorang cendekiawan sekaligus sejarahwan. Beliau dapat mengemas berbagai aspek kehidupan dengan bagus dan menarik dalam sebuah tulisan hasil pemikiran beliau. Dan tulisan-tulisan beliau ini seharusnya di baca oleh setiap kau terpelajar dan intelek. Supaya lebih membuka paradigm kita tentang kehidupan sosial dan kehidupan agama, tanpa memisahkan antara keduaanya.
0 comments