Toleran

Oleh: Nur Hadi 

Tengah malam seusai membaca buku Dunia Tanpa Sekolah (M Izza Ahsin) dan Menjadi Manusia Pembelajar (Andrias Harefa), tiba-tiba aku terpikir bagaimana seandainya anakku suatu saat nanti juga membaca kedua buku tersebut dan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah/kuliah, sebagaimana yang dilakukan kedua penulis buku tersebut.

“Kalau memang hal itu terjadi, lalu apa yang harus aku perbuat? Kalau aku mendukungnya, bagaimana reaksi keluarga besar, tetangga, dan kawan-kawanku?” pertanyaan itu menghampiriku sepanjang malam.

Di kala pikiranku dihantui pertanyaan yang selama ini tak pernah aku pikirkan, masuklah suara lirih anak kecil bersama hampasan angin malam yang masuk dari jendela kamarku, “Kenapa bapak khawatir denganku?”

Tanpa mempertanyakan dari mana dan siapa suaru itu, aku lantas menjawab, “Betul, nak.”

“Apa yang bapak khawatirkan?” suara itu mendesak.

“Aku khawatir kamu mengikuti jejak kedua penulis buku yang kubaca barusan.”

“Kenapa bapak sampai harus khawatir? Bukankah bapak sendiri yang mengajari sejak kecil apa itu hakekat belajar. Bukankah bapak sendiri mempraktekkannya? Bukankah bapak sendiri memutuskan keluar dari kuliah di tengah jalan dan memilih cuma menjadi nelayan sementara kakek ingin bapak menjadi sarjana.”

“Betul, nak,” sang bapak membenarkan, “tapi …”

“Tapi apa pak,” suaru itu menyela omonganku. “Bapak takut dengan masa depan anakmu ini? Bapak takut kalau anakmu ini nggak jadi orang? Bapak malu dengan ejekan dan cemohan keluarga besar dan tetangga kalau anakmu ini nggak jadi sarjana?”

Aku membisu.

“Aku mengerti maksudmu, nak,” aku kembali berbicara.

“Kalau sudah mengerti, kenapa bapak masih mengkhawatirkan?” suara itu semakin keras menuntut. “Apa benar dugaanku, bahwa semua orangtua selalu begitu. Takut dikritik, tak mau mengaca dari dan selalu berlindung di balik ketuannya. Bukankah bapak ingin mengatakan bahwa saya anak kemarin sore dan bapak sudah kenyang dengan asam-garam kehidupan.”

“Sejujurnya, saya mengkhawatirkan diriku sendiri, nak. Saya takut, saya tak bisa toleran melihat keputusan dan keberanianmu menjebol dan menjungkirbalikan tatanan orang dewasa sepertiku. Termasuk bapak takut apakah kelak saya toleran ketika kamu memutuskan untuk keluar dari bangku kuliah.”

Suara itu giliran terdiam. Namun sesaat kemudian aku berujar bijak, “Saya pikir, nak, bapak harus siap untuk suatu ketika melihat generasimu dan generasiku bertabrakan.”

*) Cerpen ini dibuat dengan ilham dari buku Belajar Tidak Bicara Solilokui Farid Gaban

1 comments

  1. sebuah kekhawatiran yang sangat wajar..dan banyak orang tua yang lebih tidak siap dari anaknya...

    saya pernah berhenti sekolah dan membuat sebauh komunitas belajar di singgahan Tuban....
    dan nyatanya itu menjadi sebuah lompatan besar untuk berfikir lebih terbuka dan luas...
    kita tidak lagi berfikir bahwa kehidupan kita bergantung pada ijazah
    kita mati-matian mengejar ilmu sebab esok hari tak akan ada ijazah di tangan kami...

    kita ingin menjadi orang yang bermanfaat

Leave a Reply