oleh: Nur Hadi
Polisi memang ditakdirkan ke dunia untuk menyulitkan umat manusia. Demikian celetukan salah seorang kawan saat saya kasih tahu rencana saya akan membuat SIM (Surat Izin Mengemudi).
Supaya tidak dipersulit, saya pun disarankan ambil jalan pintas: sogok. Sebagai kawan yang baik, saya pun mengikutinya. Terbukti, dengan menyodorkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, tanpa berbelit-belit, hanya dalam hitungan menit, SIM saya sudah jadi.
Apa yang dikatakan kawan saya itu serta pengalaman saya sendiri membuat SIM seolah menegaskan apa yang telah ditulis Toto Rahardjo dalam pengantar buku Folklore Madura karya budayawan Emha Ainun Nadjib.
“Konon menurut pengalaman emperik dari dulu sampai dengan era komputerisasi tetap saja yang namanya pelayanan publik di Indonesia masih belum beranjak pada kebiasaan sebelumnya, yakni: masih senang berbelit-belit,” katanya.
Bahkan, menurutnya, ada semacam psikologi para ”pelayan masyarakat” yang merasa puas kalau menyaksikan masyarakat tersiksa karena menunggu lama, bingung menghadapi ketidakjelasan, diombang-ambing—bukan malah sebaliknya, puas karena mampu secara cepat melayani kebutuhan masyarakat.
Seperti diketahui, dalam hal pembuatan SIM, polisi seolah sengaja mempersulit. Ujian dibuat sedemikian rupa sehingga peserta tidak lulus. Karena itu, jangan salahkan bila masyarakat ambil jalan pintas.
Namun demikian, kalau mau lebih cerdas, kita perlu mensiasati ujian pembuatan SIM seperti yang dilakukan almarhum Pak AR. Atau secara ekstrim mencontoh orang Madura.
Pak AR, mantan Ketua Umum Muhammadiyah di masa Orba tersebut saat dites mengendari motor di jalur angka 8, beliau hanya menuntun motornya. “Kalau di jalan ada jalur 8 ya saya tuntun, kenapa susah-susah dikendarai,” demikian kira-kira komentar beliau. Petugas pun dibuat terperangah.
Sementara itu, karena harga dirinya tidak ingin dipermainkan polisi, orang Madura tidak mau membuat SIM. Kalau polisi lalu-lintas menilang dan bersikeras mengatakan bahwa SIM tersebut tidak sesuai identitas, dengan cerdas orang Madura berujar: “Lho Bapak ini kok aneh-aneh! Lha wong yang saya pinjemi SIM saja ndak marah kok malah Bapak yang marah!”
Sepintas, perkataan orang Madura itu tidak masuk akal. Tapi bila diperhatikan, jawaban itu sangat cerdas. Sebab, dalam aturan tidak dinyatakan bahwa setiap pengendara motor wajib memiliki dan menunjukan SIM sesuai dengan nama, tanda tangan dan pas foto.
Tapi sayang, saya bukan Pak AR dan bukan pula orang Madura sehingga tidak cukup berani melakukannya!
Polisi memang ditakdirkan ke dunia untuk menyulitkan umat manusia. Demikian celetukan salah seorang kawan saat saya kasih tahu rencana saya akan membuat SIM (Surat Izin Mengemudi).
Supaya tidak dipersulit, saya pun disarankan ambil jalan pintas: sogok. Sebagai kawan yang baik, saya pun mengikutinya. Terbukti, dengan menyodorkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, tanpa berbelit-belit, hanya dalam hitungan menit, SIM saya sudah jadi.
Apa yang dikatakan kawan saya itu serta pengalaman saya sendiri membuat SIM seolah menegaskan apa yang telah ditulis Toto Rahardjo dalam pengantar buku Folklore Madura karya budayawan Emha Ainun Nadjib.
“Konon menurut pengalaman emperik dari dulu sampai dengan era komputerisasi tetap saja yang namanya pelayanan publik di Indonesia masih belum beranjak pada kebiasaan sebelumnya, yakni: masih senang berbelit-belit,” katanya.
Bahkan, menurutnya, ada semacam psikologi para ”pelayan masyarakat” yang merasa puas kalau menyaksikan masyarakat tersiksa karena menunggu lama, bingung menghadapi ketidakjelasan, diombang-ambing—bukan malah sebaliknya, puas karena mampu secara cepat melayani kebutuhan masyarakat.
Seperti diketahui, dalam hal pembuatan SIM, polisi seolah sengaja mempersulit. Ujian dibuat sedemikian rupa sehingga peserta tidak lulus. Karena itu, jangan salahkan bila masyarakat ambil jalan pintas.
Namun demikian, kalau mau lebih cerdas, kita perlu mensiasati ujian pembuatan SIM seperti yang dilakukan almarhum Pak AR. Atau secara ekstrim mencontoh orang Madura.
Pak AR, mantan Ketua Umum Muhammadiyah di masa Orba tersebut saat dites mengendari motor di jalur angka 8, beliau hanya menuntun motornya. “Kalau di jalan ada jalur 8 ya saya tuntun, kenapa susah-susah dikendarai,” demikian kira-kira komentar beliau. Petugas pun dibuat terperangah.
Sementara itu, karena harga dirinya tidak ingin dipermainkan polisi, orang Madura tidak mau membuat SIM. Kalau polisi lalu-lintas menilang dan bersikeras mengatakan bahwa SIM tersebut tidak sesuai identitas, dengan cerdas orang Madura berujar: “Lho Bapak ini kok aneh-aneh! Lha wong yang saya pinjemi SIM saja ndak marah kok malah Bapak yang marah!”
Sepintas, perkataan orang Madura itu tidak masuk akal. Tapi bila diperhatikan, jawaban itu sangat cerdas. Sebab, dalam aturan tidak dinyatakan bahwa setiap pengendara motor wajib memiliki dan menunjukan SIM sesuai dengan nama, tanda tangan dan pas foto.
Tapi sayang, saya bukan Pak AR dan bukan pula orang Madura sehingga tidak cukup berani melakukannya!
0 comments