Malam Kelabu Januari 98

KERUSUHAN JANUARI 1998 - Bulu, 28 Januari 1998. Hari itu adalah “Tembaru Chino”. Bertepatan dengan puasa terakhir walau di penanggalan resmi tanggal 30-31 Januari baru tanggal merah Idul Fitri. Itu berarti tanggal 29 adalah puasa terakhir versi kalender.

Tampak ada kerumunan-kerumunan tegang memuncak yang bergerombol-gerombol, risau tentang krisis yang parah terjadi, krisis yang akhirnya menjatuhkan Orde Baru yang sangat kuat.

Tanda-tanda gerakan sudah terlihat sejak pagi. Tak tahu siapa yang memulai. Mungkin karena desas-desus yang menyebar liar. Dan ternyata betul, bersama takbir Idul Fitri berkumandang setelah buka puasa, massa dari pemuda-pemuda berkumpul, bergerombol dan bergerak. Sasaran adalah toko dari salah satu etnis Tionghoa yang paling besar dan maju.

Termakan isu dari pusat bahwa mengapa harus Tionghoa? Padahal adalah negara yang tak mampu mengatasi dampak krisis. Tapi etnis Tionghoa sebagai penjual sembako di negeri ini jadi sasaran karena harga yang jadi melambung tinggi.

Massa bergerak menuju sasaran: toko penjual obat dan jamu milik etnis Tionghoa yang berada di depan Balai Desa Banjarjo. Padahal di kampung ini yang menguasai sembako adalah orang Jawa sendiri. Setelah sampai pengerusakan dimulai, ada yang melihat terselip seseorang yang tak dikenal turut di tengah-tengah. Tak tahu siapa dia tapi bersepatu.

Keamanan datang, koramil dan satu mobil kepolisian. Massa sudah terlanjur tak terkendali. Suara anjing panjang menyalak-nyalak tak henti dari dalam. Listrik telah dimatikan dan barang-barang dirusak berhamburan dikeluarkan dalam gelap. Mobil kepolisian kaca depannya hancur. Penduduk melihat berkerumunan berderat setengah lingkaran di muka toko, sebagian lain menonton dari dalam balai desa. Air mengalir deras dari ratusan minuman kemasan dan air mineral yang telah pecah hancur berserak di depan.

Massa semakin beringas, ada yang hendak membakar, tapi warga yang menonton melarang. Setelah terpuaskan, mereka bergerak berpindah. Berjalan ke utara, sambil merusak rumah-rumah Tionghoa yang lain sepanjang jalan. Tak peduli itu Tionghoa miskin.

Massa terus bergerak. Sampai di pertigaan berbelok ke kanan, ke arah timur. Sambil bersorak-sorak dan memekik-mekik, mereka nyeletuk-nyeletuk sambil berkata-kata dengan keras: ajurno, ganyang, dll. Sampai di depan Masjid Al-Amin suara itu makin keras.

Terus mereka bergerak ke timur, hingga sampai pertigaan Layur, di jalan raya Bulu-Tuban. Lalu berbelok ke arah kiri alias ke barat. Sekitar 75 meter ada bengkel besar milik Tionghoa. Di situlah massa berhenti lalu mengamuk kembali. Mengamuk sejadi-jadinya. Pintunya yang terbuat dari besi dijebol pakai entol beramai-ramai. Lalu setelah jabol, ada BBM solar begitu banyak digulingkan, ditumpahkan, dibuang di jalan dan massa menghancurkan semua yang di dalam.

Sudah semakin tak terkendali dan beringas, pengerusakan yang membabi buta. Di sini mereka dapat senjata berupa potongan-potongan pipa sepanjang satu meteran. Terus dibuat memukul semua yang ada di dalam. Ada mesin las, bubut, dll. Suara benturan pipa yang dipikulkan pada besi bertalu-talu. Begitu riuh dengan sorak-sorai garang.

Setelah itu mereka pergi meninggalkan tempat yang sudah hancur itu. Menuju ke barat. Tak ada satu pun mobil yang lewat di jalan nasional Daendelas itu. Di pertigaan Layur sudah terpasang jongko menghadang di tengah jalan. Lalu mereka menuju ke toko elektronik Tionghoa juga, yang berada tepat di depan Polsek Bulu. Kabarnya mereka malah lebih brutal di sana. Semua yang ada di dalam toko dihancurkan, lalu dihamburkan ke luar.

Jalan begitu lenggang dari kendaraan, tak satu pun lewat. Hanya orang-orang yang memenuhi jalan. Segerombolan yang tadi sudah jauh di depan, di toko depan polsek mereka mengamuk. Sementar itu di timur jauh terdengar satu sirine meraung-raung. Meluncur dengan cepat dan tergesa. Itu adalah mobil dari satuan Brimob Polres Tuban.

Sampai di pertigaan Layur mobil itu berhenti. Beberapa personelnya turun sambil membopong senjata laras panjang. Kemudian senjata dikokang ke arah barat. Lalu meletuslah suara itu dengan sangat keras: “Door ... door ... door.” Yang menghadap ke atas yang ditembakkan sebagai peringatan, ujung laras panjang itu meyala dalam gelap. Semua berlari berhamburan, padahal nyata mereka tak ikut hanya menonton. Sebagian yang terdekat berlari ke selatan masuk ke gang-gang kampung, sebagian berlari ke utara ke laut dan langsung menceburkan diri.

Jongko diangkat oleh anggota-anggota yang lain, kemudian sirine bergerak kembali karena jalan sudah tak terhadang. Sirine itu meluncur dengan cepat menuju sasaran. Dari kejahuan terlihat lautan manusia tersibak dari jarak berpuluh meter, karena sirine akan lewat. Mereka lari menghindar sebab beberapa kali suara letusan itu kembali terdengar menakutkan.

Massa seperti kesurupan mengamuk sejadi-jadinya, tak terkendali. Sampai hancur lebur seisi toko di depan polsek itu. Dari jauh terdengar suara tembakan dari laras panjang bertubi-tubi bercampur suara sirine meraung-raung. Mereka mengabaikan karena terdengar masih terlalu jauh. Tetapi semakin lama suara itu semakin dekat membrondong tanpa jedah. Massa akhirnya pecah lari tunggang langgang berhamburan. Lari meninggalkan pengerusakan yang luar biasa.

Di tengah kampung mereka menambah kegaduhan yang saat itu masjid dan musholah-musholah sibuk menerima dan membagian zakat. Sebagian mereka berbaur naik masjid dan mushola kemudian ikut membagian beras bersama panitia zakat keliling kampung. (Erfan Djawawi)

0 comments

Leave a Reply