Disahkanya Undang-Undang Desa oleh DPR membawa angin segar sekaligus perubahan penting dalam paradigma pembangunan daerah. Kendati demikian, UU tentang Desa ini diperkirakan juga berpotensi memunculkan konflik atau permasalahan politik dan sosial terbatas di desa.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), Laode Ida, dalam opininya yang dimuat harian Kompas edisi Rabu, 8 Januari 2014. Menurut Laode, setidaknya ada tiga potensi yang akan memunculkan konflik politik dan sosial di desa.
Pertama, terkait dengan proses-proses politik, perebutan kepala desa akan sangat panas seperti halnya dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung selama ini.
"Praktik politik uang pun bukan mustahil akan kian marak dalam pilkada itu. Soalnya, yang diperebutkan pada dasarnya bukan sekadar jabatan kepala desa, melainkan nilai nominal (berkisar rata-rata di atas Rp 1 miliar) dan sudah adanya kepastian alokasi dana desa (ADD)," katanya.
Apalagi, kata dia, dengan peluang masa jabatan sampai tiga periode (18 tahun, setiap periode 6 tahun), diperkirakan jabatan kepala desa berikut perangkatnya akan diperebutkan para figur potensial di desa.
Kedua, pengelolaan dana desa yang mana kepala desa diposisikan semacam ”kuasa pengguna anggaran” akan berpotensi untuk selalu ”dicurigai” masyarakat desa, terutama para pesaing politiknya, termasuk bagian dari buntut dalam pilkada.
"Peluang penyalahgunaan kewenangan atau penyalahgunaan dana berpotensi terjadi dilakukan oknum kepala desa dan atau perangkat terkait lainnya. Soalnya, adanya ADD yang cukup banyak itu boleh jadi akan menimbulkan semacam geger budaya bagi para kepala desa," ujarnya.
Dalam konteks ini, lanjut dia, moralitas dan kapasitas para kepala desa dan perangkatnya akan sangat menentukan tata kelola pemerintahan desa berikut anggarannya.
"Jika orientasinya pada upaya mengakumulasi harta dengan memanfaatkan jabatan kepala desa, apalagi meniru ada pengalaman konspiratif yang kerap terjadi di elite atas, dana yang dialokasikan di desa itu hanya akan menjadikan sebagian oknum kepala desa dan perangkatnya akan menjadi klien aparat penegak hukum, dan selanjutnya terbuka untuk mengisi hotel prodeo," terangnya.
Laode menambahkan, sebagaimana dalam kebiasaan yang dilakukan selama ini, para kepala desa yang tersangkut masalah dalam pengelolaan dana desa itu akan menjadi ”ATM” bagi para oknum penegak hukum.
Ketiga, pada tahap awal, perencanaan pembangunan desa belum tentu bisa dilakukan dengan baik mengingat kapasitas sumber daya manusia yang belum tentu tersedia dan atau sama di setiap desa.
"Sementara itu, anggaran harus dialokasikan secara efektif dan digunakan secara efisien untuk mencapai target terfokus untuk menjadikan desa sebagai basis sekaligus ujung tombak penciptaan kesejahteraan rakyat," ungkapnya. (wak)
0 comments