Oleh: Wak Hadi
Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan yang punya ketertarikan dan
perhatian khusus dengan laut, mengajak saya main ke salah satu daerah
pesisir di Jawa Tengah. Tepatnya di desa Bendar, Kecamatan Juwana,
Kabupaten Pati.
Meski daerah tersebut tak begitu jauh dari rumah saya, tapi tak
pernah sekalipun saya pergi ke sana. Kecuali hanya melintas ketika
hendak pergi ke Semarang. Ajakan kawanku itu pun segara saya iyakan.
“Ok, siap Pek,” kataku dalam sebuah pesan singkat.
Saat itu saya tak bertanya mengapa kawanku itu mengajak saya main ke
Juwana. Pikir saya, kawanku itu mungkin hanya sebatas jalan-jalan sambil
motret. Maklum, kawanku ini punya hobi fotografi.
Dugaan saya ternyata meleset. Sebelum berangkat, saya iseng bertanya
perihal itu. “Kamu saya ajak main ke Juwana supaya kamu tahu bagaimana
kondisi nelayan di sana,” jawabnya singkat.
Setelah ia mengatakan seperti itu, saya tiba-tiba menjadi penasaran.
Akhirnya selama hampir dua jam perjalanan di bus jurusan
Surabaya-Semarang, saya gunakan untuk menginterview-nya. Bak seorang
wartawan investigasi, saya mencoba menggali segala informasi darinya.
Tak berselang lama kemudian, kawanku yang juga kontributor majalah
Travelling National Geographic (NG) Indonesia untuk wilayah Jawa Timur
ini membeberkan beberapa informasi yang belum saya ketahui. Usut punya
usut, ternyata sebelumnya dia sudah pernah ke Juwana. Katanya, dulu
bersama kawan-kawannya ada assignment liputan Juwana. Dari hasil liputan
tersebut, ia kemudian tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai
Juwana, khususnya masyarakat nelayannya.
Setiba di alun-alun Juwana, kami langsung beranjak menuju ke rumah
salah seorang pengusaha krom. Di sana kami bertemu dengan pemiliknya,
yang kebetulan beliaunya adalah ketua asosiasi pengusaha kecil dan
menengah Kabupaten Pati.
Namanya Anwar Nugroho Jarkoni, akrab dipanggil Pak Nug. Saat kami dolan di
rumahnya, cina muslim Juwani ini bercerita banyak kepada kami mengenai
Juwana. Termasuk soal sejarah dan masyarakat Juwana. Kata pengagum Gus
Dur ini, sebagian besar masyarakat Juwana bermatapencaharian sebagai
pengrajin kuningan, batik, dan nelayan.
Karena sejak awal kami ingin mengetahui masyarakat nelayannya, kami
disarankan beliau pergi ke desa Bendar. Desa ini letaknya di sebelah
timur kali Juwana. “Kamu langsung aja pergi ke sana, “ perintah Pak Nug.
Ditemani salah satu pemuda sana, Mas Irham, kami bertiga segera
meluncur ke desa Bendar dengan Bentor.
Sesampai di desa tersebut, sebelum bertemu salah satu nelayan di
sana, saya dibuat kagum dengan deretan rumah mewah, bertingkat, dan
berwarna-warni di sepanjang jalan. “Iki omah opo istana, kok apik-apik’e ngene,” batinku. Mas Irham yang memandu kami, tanpa kami tanya, ia berseloroh: “Itu rumah para nelayan Bendar.”
Setelah menempuh kurang lebih 10 menit dari rumah Pak Nug, Bentor
kami berhenti di depan sebuah galangan kapal. Di sana kami dipertemukan
oleh Mas Irham dengan Pak Rahmad, salah satu nelayan Bendar. Umurnya
masih muda, sekitar 27 tahunan.
Tidak seperti nelayan pada umumnya, penampilan Pak Rahmad sama sekali
tidak mencerminkan seorang nelayan: berpakaian apa adanya, kulitnya
hitam, kulu-kulu. Dengan berpakaian kemeja, celana bahan,
rambut klimis dan tersisir rapi, ia menyambut kami dengan ramah. Kami
pun segara memperkenalkan diri serta menjelaskan maksud kedatangan
kami.
Sebelum dipersilahkan masuk ke rumahnya, yang letaknya tidak jauh
dari galangan kapal, kami sempat mengobrol sebentar di sana. Obrolan
kami tak jauh dari soal nelayan. Kawanku terlihat antusias bertanya,
demikan dengan Pak Rahmad. Beliau juga antusias menjawabnya. Sedangkan
saya hanya mendengarkan obrolan mereka sambil mata saya jelalatan
melihat para tukang pembuat kapal meceli kayu.
Kenapa saya acuh? Jawabnya singkat: sebab apa yang diobrolkan
hanyalah seputar kehidupan nelayan pada umumnya yang menurut saya biasa
saja. Namun, mendadak saya menjadi tertarik menyimak obrolan itu ketika
Pak Rahmad membicarakan soal teknologi nelayan.
Sebagaimana diketahui, satu hal yang membuat nelayan kita ini tidak
maju-maju adalah resisten alias tidak mau menerima inovasi teknologi
baru. “Sekarang kapal nelayan di sini sudah banyak yang menggunakan
freezer (alat pendingin),” tutur Rahmad.
“Nelayan di sini sudah tidak lagi dipusingkan dengan es sebagai bahan pengawet ikan. Mereka sudah menggunakan freezer
yang ditaruh di badan kapal. Sehingga ikan yang didapat bisa langsung
dimasukan alat tersebut. Jadi mereka bisa melaut sampai berbulan-bulan,”
tambahnya.
Setelah adanya freezer, lanjut Rahmad, pendapatan para nelayan
menjadi meningkat karena kualitas ikan yang ditangkap sangat bagus dan
itu berpengaruh pada harga jual ikan. “Beda ketika masih menggunaka es,
harga ikan bisa jatuh karena kualitas ikannya jelek,” ungkapnya.
Obrolan itu kemudian dilanjutkan di rumahnya. Dan untuk kedua
kalinya, saya dibuat heran, takjub, dan tak percaya. Setelah melihat
interior rumah Pak Rahmad, rasa-rasanya saya tak percaya kalau ini
rumah seorang nelayan. Bagaimana tidak, di salah satu sudut ruangan,
berjejer beberapa alat-alat kebugaran tubuh seperti yang ada di tempat
fitnes. Belum lagi perabotan-perabotan lainnya.
“Masak seorang nelayan bisa hidup seperti itu. Apa yang membuat Pak
Rahmad dan para nelayan Bendar bisa demikian? Kenapa nelayan di
kampungku tidak bisa seperti mereka? Apa karena nelayan Bulu tidak punya
etos kerja yang tinggi atau karena nelayan Bulu sudah merasa nyaman
dengan kondisinya seperti sekarang ini?” tanyaku dalam hati.
Pertanyaan itu kemudian memacu saya untuk mencari tahu, yakni dengan
bertanya langsung ke Pak Rahmad. Bapak dari satu anak itu pada akhirnya
menjelentrehkan kepada kami. Sambil duduk lesehan di ruang tamu dan
memakan jamuan yang sudah disuguhkan, kami mendengarkan penjelasannya.
“Sebetulnya semua nelayan bisa seperti nelayan Bendar, asal berani
ambil resiko, mau mengikuti perkembangan teknologi, dan bekerja keras
tidak mudah putus asa. Maksudnya nelayan harus berani melaut sampai
berhari-hari mengorbankan sementara waktu tidak bertemu dengan
anak-istri beberapa hari dan bulan. Dan yang tak kalah penting adalah
update teknologi, baik teknologi kapalnya sendiri atau teknologi
penangkapan. Semakin lama teknologi itu berkembang, kalau nelayan tidak
mau mengikuti, mereka akan ketinggalan dengan nelayan yang lain,”
jelasnya.
Dari penjelasannya itu, saya semakin yakin, bahwa yang menyebabkan
nelayan Bulu tidak maju (berkembang) dan taraf hidupnya semakin tidak
menentu adalah tidak berani ambil resiko dan resisten terhadap
teknologi.
Keyakinan saya itu beralasan, sebab salama bergaul dengan mereka, ada
sebuah jargon yang diam-diam dan sudah membudaya menjangkiti cara
berpikir mereka. Kata mereka demikian: “daripada miyang ngebok, mending miyang harian, iso nang omah ben dino ketemu anak bojo. Awak ora rekoso.”
Kalimat tersebut, kalau boleh saya sarikan, bunyinya demikian: “wes ora jaman wong miyang bantalan ombak lan selimutan angin. Saiki jamane bantalan lan selimutan wong wedok.”
Dan terkait penggunaan teknologi modern, sudah terbukti hal itu
mempengaruhi hasil tangkapan ikan nelayan. Bandingkan mereka yang
menggunakan teknologi radar dan pendeteksi posisi (global positioning
system) dan Galaxy “Setan” dengan yang tidak menggunakan, hasilnya
jelas.
Itulah seklumit kisah perjalanan saya ke Bendar, Juwana. Baik
buruknya, bermanfaat atau tidak, tulisan ini saya kembalikan kepada
anda sekalian, yaitu anak-anak Bulu yang masih peduli dengan nelayan
Bulu.
0 comments